KEDUDUKAN HAK WARIS PEREMPUAN MENURUT HKUM ADAT BALI

Artikel ini memuat tentang KEDUDUKAN HAK WARIS PEREMPUAN MENURUT HKUM ADAT DI BALI

Menurut I Ketut Sudantra, dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana (“Unud”), dalam artikel berjudul Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami (sumber: Balisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret 2011).

Hal di atas juga tercermin dalam putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958, yang antara lain menyatakan:

“Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.”

Namun, “angin segar” bagi kaum perempuan Bali dalam hal pewarisan bertiup beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2010. Angin segar tersebut berupa dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MUDP Bali(“Keputusan Pasamuhan Agung III/2010”) .

Dalam Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 diputuskan mengenai kedudukan suami-istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan (anak kandung maupun anak angkat).

Secara singkat, hak waris anak perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 adalah sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum adat FH Unud Prof. Dr. Wayan P. Windia, S.H., M.Si. sebagai berikut:

“Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.”

Demikian sebagaimana kami kutip dari artikel balipost.co.id berjudul Wanita Bali Multifungsi Tetap Dipinggirkan (24/02). Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 lebih lengkapnya bisa dilihat dalam Balisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret 2011.

Mengenai Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 tersebut, Sudantra menulis antara lain:

“Barangkali timbul pertanyaan, apakah keputusan-keputusan Pesamuan Agung tersebut akan serta merta menjadi pola kelakuan yang ajeg dalam masyarakat sehingga berlaku sebagai hukum adat dalam kenyataan? Tentu kita harus bersabar untuk sampai pada tahap perkembangan tersebut. Keputusan-keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut tentu saja akan menjadi pedoman dalam revitalisasi hukum adat Bali melalui penyuratan awig-awig desa pakraman, karena salah satu fungsi MUDP adalah melakukan pembinanan terhadap awig-awig desa pakraman.

“Dengan begitu, akan terjadi sosialisasi dan internalisasi di kalangan masyarakat hukum adat Bali mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Keputusan MUDP tersebut. Lebih dari itu, keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut akan memudahkan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum adat dalam tugasnya menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, ketika hakim di Pengadilan-pengadilan yang ada di Bali mengadili kasus-kasus pewarisan.”

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

Post a Comment

0 Comments